Kamis, 20 November 2014

Cerpen: "Kursi Hitam di Taman"



Kursi Hitam di Taman
Lisma Nopiyanti

Terduduk kaku menatap kursi di taman. Kursi yang dulunya menemani kesedihanku, juga kesepianku. Sekarang hilang. Sebuah kursi. Memang sebuah kursi. Berwarna hitam, yang bertemankan lampu taman. Sekitar tiga sampai lima orang bisa menikmatinya.
Di belakangnya ada jalan setapak lurus,  yang nantinya berujung pada sebuah air mancur mungil berisikan air yang jernih. Ku lihat juga tempat ikan beradu. Melihat para ikan dengan warna-warninya. Sederhana. Namun, sangat berkesan. Kursi itulah tuannya. Di sebelah kanan kursiku, tertata rapi dua tempat pembuangan benda sisa-sisa. Kotak sampah. Semua nampak selaras. Kursi itu juga tak sendirian. Rerumputan perdu, semacam geragah tumbuh disana. Tempat belalang mencari nafkah. Sungguh anugrah sang Kuasa, teramat sempurna.

Terbuai akan kenikmatannya. Ingatan itu kembali menemuiku. Menggali harta yang telah tertanam jauh di bawah sana. Sayang, keramaian di sini, di taman ini tak mampu menghibur tangisku. Kursi ini.Benar-benar menyiksa batinku. Kursi hitam di taman. Melayang melanglang buana, aku kembali bernostalgia bersama rasa hampa. Aku lemah. Kursi hitam di taman. Dan seketika atmosfer berubah, ketika aku menyadari kursi hitam telah hilang.
...
Hari ini langit begitu cerah. Kicauan burung mengusik ketenangan pagi ini. Aku dan rasa malasku berjabat erat. Rasanya lelahku semalaman berhasil mengorbankan waktu istirahatku. Hingga akhirnya, pagi ini aku begitu kalut dalam rasa kantuk ini. Ku coba membuka jendela kamar. Walaupun, dingin segera meramaikan kamarku. Aku harus bergegas. Sebuah kaos lengan panjang, celana training berwarna biru dongker, lengkap dengan sepatu all starku yang berwarna biru pula. Aku memulai agendaku hari ini. Olahraga. Meluangkan beberapa menit saja untuk memberikan waktu kepada tubuhku yang terlalu sibuk dengan dunia pendidikanku ini.

Aku berlari-lari kecil di taman, ku biarkan mata ini menikmati indah bunga yang mewangi. Bertemu kupu-kupu. Bertemu penikmat taman lainnya. Namun aku hanya sendiri. Sendiri. Ya, hanya sendiri. Ibuku, selalu sibuk dengan dunianya. Bahkan saat hari libur, sekalipun. Aku telah terbiasa. Aku memilih tempat yang tak begitu jauh dari peraduanku. Aku memilih tempat spesial ini. Sebuah taman, yang ramai dengan bunga-bunga yang bermekaran. Beberapa diantaranya, aku mengenalnya. Mawar merah berduri atau sekedar anggrek yang melilit pohon. Itu cukup menghibur mataku. Aku seakan telah mengenal tempat ini, bahkan begitu lama mengenalnya. Sungguh tempat ini tak asing bagiku. Entah kenapa sebabnya.

Lima belas menit sudah, kuberi waktu untuk tubuhku ini. Peluh mulai membanjiri kaosku. Ku coba mencari-cari, dimana akan kuletakkan lelah ini. Aku melirik jauh, lurus, tepat. Aku memilihnya, kursi hitam di taman. Angin berhembus lembut, menerbangkan beberapa peluhku. Sungguh aku terluluh.

Begitulah setiap minggunya kulalui begitu saja. Bahkan setiap hari aku sempatkan untuk menemui kursi hitam itu. Aku heran, pertanyaan itu datang lagi. Kenapa tempat ini tak asing bagiku. Padahal, baru beberapa minggu aku menjamah dan mengenalnya. Pertanyaan yang tak kunjung menemui jawabannya, yang jelas ia temanku. Sesekali, aku mengerjakan tugas di sana. Ataupun sekedar memandangi taman beserta keindahannya. Beberapa hari ini, kedatanganku ke sana menemui teguran. Ternyata, ibu mengintaiku. Ia melarangku untuk menemuinya, kursi hitam di taman.

"Jangan pernah pergi, jika ibu tak mendampingimu. Kemanapun." jelas ibu padaki dengan nada yang sedikit ketus.

Aku yang bingung, hanya menatap ibu dengan mata berkaca. Tak pernah biasanya, ibu berbicara seperti ini kepadaku. Ini kali pertamanya. Kebingungan ini menghadirkan gejolak begitu kencang. Betapa tidak, kelembutan ibu saat berbicara padaku tak ada saat itu. Aku terdiam. Dan lama-kelamaan aku  menghilang dari pandangan ibu, menuju kamar kecilku. Aku tarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menghembuskannya.

"Mungkin ibu khawatir padaku. Atau mungkin ibu sangat lelah bekerja hari ini." bisikku meyakinkan diri bahwa memang ibu tak serius akan hal ini. Aku tersenyum kecil sambil menatap cermin di kamarku. Ibu sayang padaku.

Semenjak kejadian itu, aku sering mencuri waktu. Ya, mencari-cari kesempatan ketika ibu bekerja. Aku coba pergi ke taman, menemui kursi hitam. Entah kenapa aku nyaman di sana. Di sana aku bisa menemukan keramaian. Di sana aku bisa memiliki teman. Di sana aku bisa mendapatkan kehangatan. Bukan di rumah. Bukan. Aku selalu merasa ada yang kurang, aku merasa ada yang hilang. Tapi sayang, kenapa kini aku baru sadar. Aku memang anak yang diam. Bahkan semua teman satu kelasku juga bersifat dingin padaku. Itulah kesulitanku menghangatkan suasana dalam pembicaraanku. Aku tak pernah mendapatkan pelajaran itu. Semua terasa dingin.

Sejak aku diterima sebagai murid di SMP Al-Fatah, hingga sekarang aku menempuh masa putih abuku di yayasan yang sama, SMA Al-Fatah. Ibu tak pernah memberikan kehangatan itu. Terasa olehku. Ketika aku menginjak usia 6 tahun, ibu sangat mencintaiku. Aku teringat, ketika waktunya tidur ibu selalu menghadiahkan sebuah dongeng dan tak lupa membelai rambutku serta menciumku. Merawat aku dengan baik.Aku terasa. Atmosfer berbeda yang kurasakan sekarang. Ibu dingin. Walau memang sesekali rasa cinta itu nampak. Tapi tak jelas, remang-remang. Setidaknya, sampai kini ibu masih menyempatkan memasak makanan untuk aku, untuk lambungku. Karena kata ibu, aku pernah bergelut dengan maag bahkan harus rawat inap secara intens di rumah sakit beberapa minggu. Ibu selalu menyiapkan bekal juga air mineral untukku. Hanya itu.

Pagi itu, tak biasanya ibu berpamitan kepadaku. Kebetulan memanh saat itu, aku bangun agak awal. Pesan itu datang lagi.

"Jangan pergi jika ibu tak mendampingimu..." pesan itu datang lagi.

Namun, aku tak memperdulikanya. Aku balas dengan senyum saja. Semakin keras ibu melarang, semakin keras juga datang penolakan. Karena yang aku tahu hanya dia temanku, kursi hitam di taman. Pesan dari ibu juga tak dapat ku terima dengan logika. Lagi pula, lokasinya sangat strategis dan tidak juga berbahaya. Jua hanya beberapa meter saja dari rumah.

Beberapa hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku menemuinya, kursi hitam di taman. Hari ini aku berencana ingin membuat sebuah lukisan. Mencoba bercerita kepada kursiku, bahwa aku memiliki bakat melukis. Kugoreskan pensil ini ke kertas A4 yang telah kupersiapkan di rumah tadi. Terbayang di ingatanku wajah seorang laki-laki bersahaja, hidung mancungnya dan sangat berwibawa. Beberapa lamanya aku berhasil melukiskannya. Seorang laki-laki berwibawa.Entah siapa dia.

...
Tak ada yang aku khawatirkan hari itu, aku pulang dengan riang walaupun dengan ribuan pertanyaan: "siapakah pria bersahaja itu?". Perlahan aku langkahkan kaki memasuki rumah, pelan-pelan. Alhamdulillah, ibu tak ada. Aku segera masuk ke kamar. Agar saat ibu pulang tak ada hal yang perlu dicurigakan. Ternyata salah. Rupanya, ibu telah mengintaiku. Ia mengetahui rahasiaku. Aku menemui kursi hitam di taman.

"Tak pernah diindahkan sekalipun perkataan ibu." kecewa, ibu meninggalkan aku.

Aku bingung. Apa yang terjadi pada diri ibu. Mengapa ibu selalu menyentakku mengenai hal ini. Apa yang salah ketika aku berada di sana. Kekhawatiran ibu tak wajar.Aku hanya ingin berteman dengannya. Menghilangkan sedikit kegundahan yang saat ini tak pernah aku dapatkan obatnya selain di sana. Aku hanya diam. Karna aku yakin, jawabanku takkan berarti. Atau malah sia-sia.

Malam ini, rumah seakan tak berpenghuni. Ibu hanya menyiapkan makan dan berlalu begitu saja. Jangankan menegurku, menatapku pun ibu tak mau. Rasa bersalah. Keheningan malam ini hanya terobati suara gemuruh televisi. Tak lama. Dua hari kemudian, ibu menegurku.

"Jaga kesehatanmu.” berlalu begitu saja. Sekali lagi ibu hadirkan kekakuan ini, dingin.
Sikap dingin itu, makin membuat rasa rinduku bergejolak. Aku ingin menemui kursi hitam di taman, karna memang di sana aku merasa nyaman. Selalu waspada. Sebentar saja, sekedar menghilangkan penatnya kehidupanku. Setiap hari. Setiap kesempatan yang ada, aku manfaatkan semaksimal mungkin.

Duduk di kursi hitam lagi, sore ini. Tiba-tiba, menghampiriku tiga orang yang asing.Ayah, ibu, dan seorang anak.  Mereka bercengkrama. Mesra sungguh mesra mereka. Aku tersenyum. Mereka membalasnya.

"Kakak..." panggil adik mungil itu padaku. Aku hanya tersenyum. Mereka tak asing bagiku.Entah.

Semenjak pertemuan itu, intensitas perjumpaan kami makin sering. Setiap minggu, adakalanya aku selalu berjumpa mereka. Mereka bertiga. Semakin mendekat dengan hidupku. Aku bahkan bercanda gurau bersama mereka. Terkadang perempuan itu, membelaiku dengan kasih sayang. Terkadang juga laki-laki itu. Ya, seperti bagian dari keluarga kecil mereka. Terkadang bermain di taman bersama. Lari-lari kecil bersama. Aku merasa nyaman. Rasa asing hilang. Hadirlah rasa sayang. Namun, aku sadar. Hatiku tersa tertampar, mereka hanya temanku di dunia kursi hitamku. Tak lebih. Mereka tak benar-benar mengenalku. Aku hanya seseorang, yang baru hadir di kehidupan mereka. Aku tak berhak merebut bahagia yang bukan milikku.

Duduk bersama kursi hitam di taman. Aku cemburu. Mengapa laki-laki itu selalu mengasihinya dihadapanku. Mengapa laki-laki itu selalu menyayanginya, adik berpipi tembem itu. Aku ingin menariknya. Aku ingin ia tak bersama. Aku yang berhak disayanginya bukan dia.

"Aku ingin seorang ayah...."
"Aku ingin di peluk ayah..."
"Aku ingin ayah, ada.."
"Aku ingin melihat wajahnya, walau beberapa detik saja"
"Aku ingin seorang ayah.."

Perjumpaan yang menyisakan pertanyaan. Ayah. Aku ingin mengenalnya. Aku menyusun siasat. Aku ingin mencari ayah. Ku yakin ibu punya jawabannya. Tanpa basa-basi aku melontarkannya.

"Sebenarnya.... sekarang ayah ada dimana bu? Mengapa hatiku selalu merindu? Masih adakah kesempatanku untuk mengenalnya? Atau melihat gambarnya di album foto kita, bu. Dimana aku harus menemuinya, atau bahkan aku tak berhak bertemu dengannya. Atau ia tak pernah ingin memelukku. Tak pernahkah ia ingin memanjakan aku? Tapi kenapa bu? Kesalahan apa yang sudah kulakukan bu?" rentetan pertanyaan itu tak bisa aku pedam. Sangat bergejolak.

Ibu menangis. "Ayah berada di Syurga" meninggalkan aku begitu saja.

Tak adil. Pertanyaanku yang banyak itu hanya dibalas dengan jawaban sesingkat itu. Tak pernahkah ibu merasakan gejolak dihatiku. Tarik napas dalam-dalam sangat dalam. Aku coba melupakan. Aku mencoba menerima keadaan. Aku mencoba yakin, bahwa malam ini tak pernah aku mencari ayah. Walaupun ibu bilang ayah di Syurga. Aku tak pernah menemui makamnya. Ibu egois.

Sebenarnya bertemu kursi hitam di taman sangat menyakitkan. Kalau memang aku hatus dihadirkan rasa itu, kembali. Ya. Benar.Dia datang. Mereka datang. Mencoba acuh dan tak memperdulikan mereka. Hingga rasa itu patah.

"Bertemu adik lagi.Adiklah yang paling sering saya temui di kursi hitam ini. Mengapa dik?" laki-laki itu.

"Suasananya." aku tak boleh lemah. Aku harus acuh.

"Kami juga dik. Suasana di sini memang menyenangkan. Apalagi bersama keluarga. Rumah kami tak jauh dari sini dik. Hanya berselang lima rumah." aku mendapatkan tawaran.

Mengangguk. Respon itu tak bisa aku hindarkan. Tiba-tiba. Cepat. Hingga aku menyerah pada rasa acuh. Aku peduli.Bahkan sayang pada mereka, laki-laki itu. Aku ingin mengenal ayah.

Aku dijamu bagai tamu kehormatan di sana. Disugukan apa saja. Ditemani si adik mungil dengan pipi tembemnya, cantik juga sangat menggemaskan. Aku ditempatkan di sebuah ruangan, ruangan keluarga. Aku lancarkan mataku ke seluruh penjuru. Rumah sederhana namun mewah. Lagi-lagi mereka bercengkrama sangat mesra. Itu benar-benar menyiksa.

...

Beberapa hari setelah peristiwa itu. Aku mememutuskan tak akan menemui kursi hitam di taman, untuk beberapa hari ini. Sebab, aku tak ingin kecemburuan ini makin parah. Untuk mengobati kerinduanku padanya, aku memasang fotoku bersama kursi hitam. Sepulang sekolah tadi, aku berhasil mencetaknya. Ku pasang di cermin meja riasku, di pojok atas sedikit ke tepi sebelah kanan, tujuannya supaya tak mengganggu proses bercerminku. Tiba-tiba ibu datang dan merobeknya. Aku diam.

Malam ini aku tak ada makan. Hanya melepas penat lewat air mineral. Begitu saja hampir dua hari. Aku lemah. Ibu egois. Ibu dingin. Aku tak mengerti apa yang ada di balik keegoisan ibu saat ini. Aku tak bisa berdiri hanya berbaring sampai akhirnya aku tergeletak lemas. Menggigil. Sakit. Aku lemah. Aku mulai kehilangan keseimbangan. Maagku.

"Coba buka matamu nak, lihat ibu." aku hanya mendengar suara itu. Dan mencoba membuka mataku yang sedikit berat ini. Rupanya, aku bersama infus. Aku di rawat. Aku diam. Hanya membuka mata dan menatap ibu. Kembali kututup mata ini. Ibu egois. Aku tetap tak ingin makan. Tetap saja. Aku hanya memiliki istirahat dan tidur. Hingga pada suatu malam, aku mendengar kejujuran.

"Maafkan ibu, ya sayang. Semua keadaan ini, ibu yang menciptakan. Ibu telah menghadirkan rasa sepi padamu. Keegoisan. Juga ketidakpedulian. Ibu hanya mencoba membuka sikapmu. Membiasakanmu untuk dewasa, juga mandiri. Agar tak mudah disakiti laki-laki. Hatimu harus kuat. Tanpa harus bergantung pada mereka." terhenti.

"Ibu harap, ini menjadi teguran yang keras untukmu nak. Jangan pernah temui kursi hitam di taman itu. Jangan." tiba-tiba nada ibu meninggi. Aku ingin membalasnya dengan kata mengapa. Mengapa ibu melarangku. Tapi segera ibu melanjutkan pembicaraannya yang tak tahu tertuju pada siapa karena saat itu aku sedang tidur, atau bisa dikatakan berpura-pura tidur.

"Tempat itu dulunya tempat ibu mengenal ayahmu, dan disana juga ibu melupakannya begitu jauh dalam hidup ibu. Dan di sana juga dulu, kita sering bermain, bercengkrama, dan bermesraan, bercanda gurau, bahagia. Ibu sudah melupakannya." selesai.

Aku temukan. Aku kaku dalam keegoisan ibu. Juga pada laki-laki itu. Pada perempuan itu. Mereka manyakitkan batinku. Sekalipun raga ini baik, namun jauh di relung jiwa ini begitu sakit. Mata boleh melihat. Namun tak juga begitu memahami. Apa yang terlihat tak juga membuat ibu hebat. Kaku dalam kebisuan.  Hanya itu, bu. Ibu telah menghukumku. Mengajari aku kuat dalam ketidakpastian ini. Ibu, tak pernah pahami pertanyaanku. Kaku dalam keegoisan.Ibu, menghukumku.Sesalku berujung benci. Menyakini apa yang terjadi, hanya membuat diri ini makin perih. Mereka. Mereka. Kenapa mereka yang terus menghakimi aku. Apa salah, berteman kursi. Kalau yang punya hati tak lagi bisa menghibur kesakitan hati ini.

Beberapa hari di rumah sakit, aku merasa bosan.  Aku hanya ingin pulang.   Beberapa hari di rumah sakit juga aku tak pernah mau berbicara. Paling hanya beberapa kata. Kaku. Aku rindu suasana taman, rindu kursi hitam.

"Kursi hitam di taman. Dulu kau pernah menjadi saksi pertemuan dan perpisahan mereka. Juga kehangatan aku dan ayah. Tapi kenapa tak pernah kau beri tahu aku." sesalku dalam sepi.

Semenjak perawatan intensif di rumah sakit, ibu berubah. Ia mencintaiku. Walaupun aku sedikit acuh. Ia memberiku sebuah amplop berwarna coklat. Tak nampak olehku kegunaan barang ini. Ku biarkan.Namun penasaran. Ku coba membukanya. Perlahan. Pelan-pelan ku ambil isinya. Tepat.Muncul sesosok berhidung mancung dan bersahaja ukuran 3x4. Ternyata ia. Ia yang hadir di ingatanku ketika kugoreskan tinta pada lukisan itu. Dibaliknya nampak berkas, lembar per lembar. Ternyata menggilas. Surat perceraian terlampir di sana. Perempuan itu merebut ayahku.

Aku berlari gila. Dengan badan sempoyongan. Kursi hitam di taman aku menunggu mereka. Sia-sia. Tak ada hasilnya. Nihil. Aku pulang dengan kecewa. Sambutan ibu, memelukku sangat erat ketika kepulanganku. Ia menangis. Meminta maaf padaku. Aku tak akan pernah memvonis ibu bersalah. Aku bukan hakim. Aku hanya berharap ibu sadar kalau aku manusawi yang punya rasa. Menginginkan suasana bahagia bersama kursi hitam di taman. Aku punya rasa itu. Sekalipun aku kuat dalam kemandirian, aku juga ingin ayah. Seorang ayah.

Hari ini aku rindu pada kursi hitam di taman. Semakin bertambah rasanya, semenjak cerita ibu kemarin. Ternyata dia memang sahabatku, menyimpan banyak kebahagiaan bersamaku. Walau sedikit lukaku di sana. Ketika aku tau, ianyang menjadi saksi perpisahan ibu. Ia juga yang menyetujui bahkan membiarkannya. Hingga kini aku hanya sendiri bersamanya, kursi hitam di taman. Ia pernah menyakiti, tapi ia selalu menemani. Aku diam. Realitas. Semuanya nampak direkayasa. Aku bisa melukis wajah laki-laki bersahaja itu. Diakah? Datang bertemu kursi hitam itu. Selalu. Diakah?

Sore ini cuaca sedikit mendung, aku berjalan pelan pelan. Aku tak mengerti ingin bertemu atau menghindar. Tapi aku rindu. Memuakkan sungguh. Aku duduk saja di ujung kursi hitam.  Aku bawa hasil lukisan. Lalu lalang saja, tak berarti apa-apa. Payah. Aku menanti, sia-sia. Aku mencoba mencarinya. Mendatangi rumahnya. Bergegas, sedikit berlari. Hingga aku berdiri di sebuah pagar, rumah yang lumayan besar untuk keluarga kecil seperti mereka. Aku melihat sebuah plang besar bertuliskan “rumah ini di jual". Sungguh dunia mempersulitku. Ketidakadilan yang kutemui lagi. Kekecewaan yang entah berapa kali.

“Mengapa laki-laki itu tak mengenali aku atau sedikit saja mengingatku? Mengapa ia tak menjelaskan padaku tentang kursi itu?” rintihku bersama rindu. Perasaan rindu yang ingin berbalas pelukannya semakin sesak. Menyiksaku makin dalam. Aku ingin menyetujui perkataan ibu, untuk mandiri tanpanya. Namun, rinduku pada laki-laki bersahaja itu tak bisa kurelakan pergi begitu saja. Semakin sulit ku mengerti.

Aku mengurung diri beberapa hari, mencoba melupakan sisa-sisa kepahitan yang ku terima. Hanya itu. Ibu selalu mencintaiku setelah aku terbaring di rumah sakit. Ibu memperhatiakanku. Bahkan lebih hangat. Aku tak merasa sepi. Bahkan aku bisa berada di rumah berhari-hari, karna di sini tak dingin lagi. Bahkan hangat. Walaupun tanpa laki-laki. Ibu jarang mengambil lembur di kantornya, sekarang. Ia lebih memperhatikanku.

"Tak perlu ada ayah di sisimu, nak. Karna kamu terlalu hebat untuk bergantung padanya." kata-kata itu sedikit menyiksaku. Ibu tak merasakan rasa sakitku, hidup tanpa kasih sayang ayah.

Hari itu, aku pergi ke taman. Ingin melepaskan rindu bersama teman lamaku. Kursi hitam di taman. Namun, rindu terlanjur kaku. Kursi hitamku, telah menjauh. Dan menghilang dari pandanganku. Dimana aku harus berharap bertemu laki-laki itu? Sekarang kursi hitam telah meninggalkanku. Sekarang hanya bongkahan tanah yang siap di bangun sebuah kolam ikan lagi di taman. Apakah melupakan atau bagaimana? Aku terlanjur sayang kepada laki-laki bersahaja itu, ayahku. Dia ayahku. Yang sekarang tak aku tahu. Aku terlanjur sayang pada kursi hitam di taman. Sesekali kutemui membawa berita suka, sekarang luka. Kebencian, keegoisan, kesepian, yang telah aku rasakan hanya menyisakan sebuah perihnya kehilangan. Menetespun airmataku, tak akan mampu mengobati. Keduanya telah hilang, selamat tinggal kursi hitam di taman. Hilanglah bersama ayah yang tak pernah mencintai aku anaknya.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar