Kursi Hitam di Taman
Lisma Nopiyanti
Terduduk kaku menatap kursi di taman. Kursi yang
dulunya menemani kesedihanku, juga kesepianku. Sekarang hilang. Sebuah kursi. Memang sebuah kursi. Berwarna hitam,
yang bertemankan lampu taman. Sekitar tiga sampai lima orang bisa menikmatinya.
Di belakangnya ada jalan setapak lurus, yang nantinya berujung pada sebuah air mancur
mungil berisikan air yang jernih. Ku lihat juga tempat ikan beradu. Melihat
para ikan dengan warna-warninya. Sederhana. Namun, sangat berkesan. Kursi itulah
tuannya. Di sebelah kanan kursiku, tertata rapi dua tempat pembuangan benda
sisa-sisa. Kotak sampah. Semua nampak selaras. Kursi itu juga tak sendirian. Rerumputan
perdu, semacam geragah tumbuh disana. Tempat belalang mencari nafkah. Sungguh
anugrah sang Kuasa, teramat sempurna.
Terbuai akan kenikmatannya. Ingatan itu kembali
menemuiku. Menggali harta yang telah tertanam jauh di bawah sana. Sayang,
keramaian di sini, di taman ini tak mampu menghibur tangisku. Kursi
ini.Benar-benar menyiksa batinku. Kursi hitam di taman. Melayang melanglang buana,
aku kembali bernostalgia bersama rasa hampa. Aku lemah. Kursi hitam di taman.
Dan seketika atmosfer berubah, ketika aku menyadari kursi hitam telah hilang.
...
Hari ini langit begitu cerah. Kicauan burung mengusik ketenangan pagi ini. Aku dan
rasa malasku berjabat erat. Rasanya lelahku semalaman
berhasil mengorbankan waktu istirahatku. Hingga akhirnya, pagi ini aku
begitu kalut dalam rasa kantuk ini. Ku coba membuka jendela kamar. Walaupun, dingin segera meramaikan kamarku. Aku harus bergegas. Sebuah kaos
lengan panjang, celana training berwarna biru dongker, lengkap dengan sepatu
all starku yang berwarna biru
pula. Aku memulai agendaku hari ini. Olahraga. Meluangkan beberapa menit saja untuk memberikan waktu kepada tubuhku yang
terlalu sibuk dengan dunia pendidikanku ini.
Aku berlari-lari kecil di taman, ku biarkan mata ini
menikmati indah bunga yang mewangi. Bertemu kupu-kupu. Bertemu penikmat taman
lainnya. Namun aku hanya sendiri. Sendiri. Ya, hanya sendiri. Ibuku, selalu
sibuk dengan dunianya. Bahkan saat hari libur, sekalipun. Aku telah terbiasa. Aku
memilih tempat yang tak begitu jauh dari peraduanku. Aku memilih tempat spesial
ini. Sebuah taman, yang ramai dengan bunga-bunga yang bermekaran. Beberapa
diantaranya, aku mengenalnya. Mawar merah berduri atau sekedar anggrek yang
melilit pohon. Itu cukup menghibur mataku. Aku seakan telah mengenal tempat ini,
bahkan begitu lama mengenalnya. Sungguh tempat ini tak asing bagiku. Entah
kenapa sebabnya.
Lima belas menit sudah, kuberi waktu untuk tubuhku
ini. Peluh mulai membanjiri kaosku. Ku coba mencari-cari, dimana akan
kuletakkan lelah ini. Aku melirik jauh, lurus, tepat. Aku memilihnya, kursi
hitam di taman. Angin berhembus lembut, menerbangkan beberapa peluhku. Sungguh
aku terluluh.
Begitulah setiap minggunya kulalui begitu saja. Bahkan
setiap hari aku sempatkan untuk menemui kursi hitam itu. Aku heran, pertanyaan
itu datang lagi. Kenapa tempat ini tak asing bagiku. Padahal, baru beberapa minggu
aku menjamah dan mengenalnya. Pertanyaan yang tak kunjung menemui jawabannya,
yang jelas ia temanku. Sesekali, aku mengerjakan tugas di sana. Ataupun sekedar
memandangi taman beserta keindahannya. Beberapa hari ini, kedatanganku ke sana
menemui teguran. Ternyata, ibu mengintaiku. Ia melarangku untuk menemuinya,
kursi hitam di taman.
"Jangan pernah pergi, jika ibu tak mendampingimu.
Kemanapun." jelas ibu padaki dengan nada yang sedikit ketus.
Aku yang bingung, hanya menatap ibu dengan mata
berkaca. Tak pernah biasanya, ibu berbicara seperti ini kepadaku. Ini kali
pertamanya. Kebingungan ini menghadirkan gejolak begitu kencang. Betapa tidak,
kelembutan ibu saat berbicara padaku tak ada saat itu. Aku terdiam. Dan
lama-kelamaan aku menghilang dari pandangan
ibu, menuju kamar kecilku. Aku tarik napas dalam-dalam, lalu perlahan
menghembuskannya.
"Mungkin ibu khawatir padaku. Atau mungkin ibu
sangat lelah bekerja hari ini." bisikku meyakinkan diri bahwa memang ibu
tak serius akan hal ini. Aku tersenyum kecil sambil menatap cermin di kamarku. Ibu
sayang padaku.
Semenjak kejadian itu, aku sering mencuri waktu. Ya,
mencari-cari kesempatan ketika ibu bekerja. Aku coba pergi ke taman, menemui
kursi hitam. Entah kenapa aku nyaman di sana. Di sana aku bisa menemukan
keramaian. Di sana aku bisa memiliki teman. Di sana aku bisa mendapatkan
kehangatan. Bukan di rumah. Bukan. Aku selalu merasa ada yang kurang, aku
merasa ada yang hilang. Tapi sayang, kenapa kini aku baru sadar. Aku memang
anak yang diam. Bahkan semua teman satu kelasku juga bersifat dingin padaku. Itulah
kesulitanku menghangatkan suasana dalam pembicaraanku. Aku tak pernah
mendapatkan pelajaran itu. Semua terasa dingin.
Sejak aku diterima sebagai murid di SMP Al-Fatah,
hingga sekarang aku menempuh masa putih abuku di yayasan yang sama, SMA
Al-Fatah. Ibu tak pernah memberikan kehangatan itu. Terasa olehku. Ketika aku
menginjak usia 6 tahun, ibu sangat mencintaiku. Aku teringat, ketika waktunya
tidur ibu selalu menghadiahkan sebuah dongeng dan tak lupa membelai rambutku
serta menciumku. Merawat aku dengan baik.Aku terasa. Atmosfer berbeda yang
kurasakan sekarang. Ibu dingin. Walau memang sesekali rasa cinta itu nampak. Tapi
tak jelas, remang-remang. Setidaknya, sampai kini ibu masih menyempatkan
memasak makanan untuk aku, untuk lambungku. Karena kata ibu, aku pernah
bergelut dengan maag bahkan harus rawat inap secara intens di rumah sakit
beberapa minggu. Ibu selalu menyiapkan bekal juga air mineral untukku. Hanya
itu.
Pagi itu, tak biasanya ibu berpamitan kepadaku. Kebetulan
memanh saat itu, aku bangun agak awal. Pesan itu datang lagi.
"Jangan pergi jika ibu tak mendampingimu..."
pesan itu datang lagi.
Namun, aku tak memperdulikanya. Aku balas dengan
senyum saja. Semakin keras ibu melarang, semakin keras juga datang penolakan.
Karena yang aku tahu hanya dia temanku, kursi hitam di taman. Pesan dari ibu
juga tak dapat ku terima dengan logika. Lagi pula, lokasinya sangat strategis
dan tidak juga berbahaya. Jua hanya beberapa meter saja dari rumah.
Beberapa hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Aku menemuinya, kursi hitam di taman. Hari ini aku berencana ingin membuat
sebuah lukisan. Mencoba bercerita kepada kursiku, bahwa aku memiliki bakat
melukis. Kugoreskan pensil ini ke kertas A4 yang telah kupersiapkan di rumah
tadi. Terbayang di ingatanku wajah seorang laki-laki bersahaja, hidung
mancungnya dan sangat berwibawa. Beberapa lamanya aku berhasil melukiskannya. Seorang
laki-laki berwibawa.Entah siapa dia.
...
Tak ada yang aku khawatirkan hari itu, aku pulang
dengan riang walaupun dengan ribuan pertanyaan: "siapakah pria bersahaja
itu?". Perlahan aku langkahkan kaki memasuki rumah, pelan-pelan. Alhamdulillah,
ibu tak ada. Aku segera masuk ke kamar. Agar saat ibu pulang tak ada hal yang
perlu dicurigakan. Ternyata salah. Rupanya, ibu telah mengintaiku. Ia
mengetahui rahasiaku. Aku menemui kursi hitam di taman.
"Tak pernah diindahkan sekalipun perkataan ibu."
kecewa, ibu meninggalkan aku.
Aku bingung. Apa yang terjadi pada diri ibu. Mengapa
ibu selalu menyentakku mengenai hal ini. Apa yang salah ketika aku berada di
sana. Kekhawatiran ibu tak wajar.Aku hanya ingin berteman dengannya.
Menghilangkan sedikit kegundahan yang saat ini tak pernah aku dapatkan obatnya
selain di sana. Aku hanya diam. Karna aku yakin, jawabanku takkan berarti. Atau
malah sia-sia.
Malam ini, rumah seakan tak berpenghuni. Ibu hanya
menyiapkan makan dan berlalu begitu saja. Jangankan menegurku, menatapku pun
ibu tak mau. Rasa bersalah. Keheningan malam ini hanya terobati suara gemuruh
televisi. Tak lama. Dua hari kemudian, ibu menegurku.
"Jaga kesehatanmu.” berlalu begitu saja. Sekali
lagi ibu hadirkan kekakuan ini, dingin.
…
Sikap dingin itu, makin membuat rasa rinduku
bergejolak. Aku ingin menemui kursi hitam di taman, karna memang di sana aku
merasa nyaman. Selalu waspada. Sebentar saja, sekedar menghilangkan penatnya
kehidupanku. Setiap hari. Setiap kesempatan yang ada, aku manfaatkan semaksimal
mungkin.
Duduk di kursi hitam lagi, sore ini. Tiba-tiba, menghampiriku
tiga orang yang asing.Ayah, ibu, dan seorang anak. Mereka bercengkrama. Mesra sungguh mesra
mereka. Aku tersenyum. Mereka membalasnya.
"Kakak..." panggil adik mungil itu padaku. Aku
hanya tersenyum. Mereka tak asing bagiku.Entah.
Semenjak pertemuan itu, intensitas perjumpaan kami
makin sering. Setiap minggu, adakalanya aku selalu berjumpa mereka. Mereka
bertiga. Semakin mendekat dengan hidupku. Aku bahkan bercanda gurau bersama
mereka. Terkadang perempuan itu, membelaiku dengan kasih sayang. Terkadang juga
laki-laki itu. Ya, seperti bagian dari keluarga kecil mereka. Terkadang bermain
di taman bersama. Lari-lari kecil bersama. Aku merasa nyaman. Rasa asing
hilang. Hadirlah rasa sayang. Namun, aku sadar. Hatiku tersa tertampar, mereka
hanya temanku di dunia kursi hitamku. Tak lebih. Mereka tak benar-benar
mengenalku. Aku hanya seseorang, yang baru hadir di kehidupan mereka. Aku tak
berhak merebut bahagia yang bukan milikku.
Duduk bersama kursi hitam di taman. Aku cemburu. Mengapa
laki-laki itu selalu mengasihinya dihadapanku. Mengapa laki-laki itu selalu
menyayanginya, adik berpipi tembem itu. Aku ingin menariknya. Aku ingin ia tak
bersama. Aku yang berhak disayanginya bukan dia.
"Aku ingin seorang ayah...."
"Aku ingin di peluk ayah..."
"Aku ingin ayah, ada.."
"Aku ingin melihat wajahnya, walau beberapa detik
saja"
"Aku ingin seorang ayah.."
Perjumpaan yang menyisakan pertanyaan. Ayah. Aku ingin
mengenalnya. Aku menyusun siasat. Aku ingin mencari ayah. Ku yakin ibu punya
jawabannya. Tanpa basa-basi aku melontarkannya.
"Sebenarnya.... sekarang ayah ada dimana bu? Mengapa
hatiku selalu merindu? Masih adakah kesempatanku untuk mengenalnya? Atau
melihat gambarnya di album foto kita, bu. Dimana aku harus menemuinya, atau
bahkan aku tak berhak bertemu dengannya. Atau ia tak pernah ingin memelukku.
Tak pernahkah ia ingin memanjakan aku? Tapi kenapa bu? Kesalahan apa yang sudah
kulakukan bu?" rentetan pertanyaan itu tak bisa aku pedam. Sangat
bergejolak.
Ibu menangis. "Ayah berada di Syurga" meninggalkan
aku begitu saja.
Tak adil. Pertanyaanku yang banyak itu hanya dibalas
dengan jawaban sesingkat itu. Tak pernahkah ibu merasakan gejolak dihatiku. Tarik
napas dalam-dalam sangat dalam. Aku coba melupakan. Aku mencoba menerima
keadaan. Aku mencoba yakin, bahwa malam ini tak pernah aku mencari ayah. Walaupun
ibu bilang ayah di Syurga. Aku tak pernah menemui makamnya. Ibu egois.
Sebenarnya bertemu kursi hitam di taman sangat
menyakitkan. Kalau memang aku hatus dihadirkan rasa itu, kembali. Ya. Benar.Dia
datang. Mereka datang. Mencoba acuh dan tak memperdulikan mereka. Hingga rasa
itu patah.
"Bertemu adik lagi.Adiklah yang paling sering
saya temui di kursi hitam ini. Mengapa dik?" laki-laki itu.
"Suasananya." aku tak boleh lemah. Aku harus
acuh.
"Kami juga dik. Suasana di sini memang
menyenangkan. Apalagi bersama keluarga. Rumah kami tak jauh dari sini dik.
Hanya berselang lima rumah." aku mendapatkan tawaran.
Mengangguk. Respon itu tak bisa aku hindarkan. Tiba-tiba.
Cepat. Hingga aku menyerah pada rasa acuh. Aku peduli.Bahkan sayang pada
mereka, laki-laki itu. Aku ingin mengenal ayah.
Aku dijamu bagai tamu kehormatan di sana. Disugukan
apa saja. Ditemani si adik mungil dengan pipi tembemnya, cantik juga sangat
menggemaskan. Aku ditempatkan di sebuah ruangan, ruangan keluarga. Aku
lancarkan mataku ke seluruh penjuru. Rumah sederhana namun mewah. Lagi-lagi
mereka bercengkrama sangat mesra. Itu benar-benar menyiksa.
...
Beberapa hari setelah peristiwa itu. Aku mememutuskan
tak akan menemui kursi hitam di taman, untuk beberapa
hari ini. Sebab, aku tak ingin kecemburuan ini makin parah. Untuk mengobati
kerinduanku padanya, aku memasang fotoku bersama kursi hitam. Sepulang sekolah
tadi, aku berhasil mencetaknya. Ku pasang di cermin meja riasku, di pojok atas
sedikit ke tepi sebelah kanan, tujuannya supaya tak mengganggu proses
bercerminku. Tiba-tiba ibu datang dan merobeknya. Aku diam.
Malam ini aku tak ada makan. Hanya melepas penat lewat
air mineral. Begitu saja hampir dua hari. Aku lemah. Ibu egois. Ibu dingin. Aku tak mengerti apa yang ada di balik keegoisan
ibu saat ini. Aku tak bisa berdiri hanya berbaring sampai akhirnya aku
tergeletak lemas. Menggigil. Sakit. Aku lemah. Aku mulai kehilangan keseimbangan. Maagku.
"Coba buka matamu nak, lihat ibu." aku hanya mendengar suara itu. Dan mencoba membuka mataku yang sedikit berat ini. Rupanya, aku bersama infus. Aku di rawat. Aku diam. Hanya membuka mata dan menatap ibu. Kembali
kututup mata ini. Ibu egois. Aku tetap tak ingin makan. Tetap saja. Aku hanya memiliki istirahat dan
tidur. Hingga pada suatu malam, aku mendengar kejujuran.
"Maafkan ibu, ya sayang. Semua keadaan ini, ibu yang
menciptakan. Ibu telah menghadirkan rasa sepi
padamu. Keegoisan. Juga ketidakpedulian. Ibu hanya mencoba membuka sikapmu. Membiasakanmu untuk dewasa, juga
mandiri. Agar tak mudah disakiti laki-laki. Hatimu harus kuat. Tanpa harus bergantung pada
mereka." terhenti.
"Ibu harap, ini menjadi teguran yang keras untukmu
nak. Jangan pernah temui kursi hitam di taman itu.
Jangan." tiba-tiba nada ibu meninggi. Aku ingin
membalasnya dengan kata mengapa. Mengapa ibu melarangku. Tapi segera ibu melanjutkan
pembicaraannya yang tak tahu tertuju pada siapa
karena saat itu aku sedang tidur, atau bisa dikatakan berpura-pura tidur.
"Tempat itu dulunya tempat ibu mengenal ayahmu,
dan disana juga ibu melupakannya begitu jauh dalam hidup ibu. Dan di sana juga
dulu, kita sering bermain, bercengkrama, dan bermesraan, bercanda gurau, bahagia.
Ibu sudah melupakannya." selesai.
Aku temukan. Aku kaku dalam keegoisan ibu. Juga pada
laki-laki itu. Pada perempuan itu. Mereka manyakitkan batinku. Sekalipun raga
ini baik, namun jauh di relung jiwa ini begitu sakit. Mata boleh melihat. Namun
tak juga begitu memahami. Apa yang terlihat tak juga membuat ibu hebat. Kaku
dalam kebisuan. Hanya itu, bu. Ibu telah
menghukumku. Mengajari aku kuat dalam ketidakpastian ini. Ibu, tak pernah
pahami pertanyaanku. Kaku dalam keegoisan.Ibu, menghukumku.Sesalku berujung
benci. Menyakini apa yang terjadi, hanya membuat diri ini makin perih. Mereka. Mereka.
Kenapa mereka yang terus menghakimi aku. Apa salah, berteman kursi. Kalau yang
punya hati tak lagi bisa menghibur kesakitan hati ini.
Beberapa hari di rumah sakit, aku merasa bosan. Aku hanya ingin pulang. Beberapa hari di rumah sakit juga aku tak
pernah mau berbicara. Paling hanya beberapa kata. Kaku. Aku rindu suasana
taman, rindu kursi hitam.
"Kursi hitam di taman. Dulu kau pernah menjadi
saksi pertemuan dan perpisahan mereka. Juga kehangatan aku dan ayah. Tapi
kenapa tak pernah kau beri tahu aku." sesalku dalam sepi.
Semenjak perawatan intensif di rumah sakit, ibu
berubah. Ia mencintaiku. Walaupun aku sedikit acuh.
Ia memberiku sebuah amplop berwarna coklat. Tak nampak olehku kegunaan barang
ini. Ku biarkan.Namun penasaran. Ku coba membukanya. Perlahan. Pelan-pelan ku
ambil isinya. Tepat.Muncul sesosok berhidung mancung dan bersahaja ukuran 3x4. Ternyata
ia. Ia yang hadir di ingatanku ketika kugoreskan tinta pada lukisan itu. Dibaliknya
nampak berkas, lembar per lembar. Ternyata menggilas. Surat perceraian
terlampir di sana. Perempuan itu merebut ayahku.
Aku berlari gila. Dengan badan sempoyongan. Kursi
hitam di taman aku menunggu mereka. Sia-sia. Tak ada hasilnya. Nihil. Aku
pulang dengan kecewa. Sambutan ibu, memelukku sangat erat ketika kepulanganku.
Ia menangis. Meminta maaf padaku. Aku tak akan pernah memvonis ibu bersalah.
Aku bukan hakim. Aku hanya berharap ibu sadar kalau aku manusawi yang punya
rasa. Menginginkan suasana bahagia bersama kursi hitam di taman. Aku punya rasa
itu. Sekalipun aku kuat dalam kemandirian, aku juga ingin ayah. Seorang ayah.
Hari ini aku rindu pada kursi hitam di taman. Semakin
bertambah rasanya, semenjak cerita ibu kemarin. Ternyata dia memang sahabatku,
menyimpan banyak kebahagiaan bersamaku. Walau sedikit lukaku di sana. Ketika
aku tau, ianyang menjadi saksi perpisahan ibu. Ia juga yang menyetujui bahkan
membiarkannya. Hingga kini aku hanya sendiri bersamanya, kursi hitam di taman.
Ia pernah menyakiti, tapi ia selalu menemani. Aku diam. Realitas. Semuanya
nampak direkayasa. Aku bisa melukis wajah laki-laki bersahaja itu. Diakah? Datang
bertemu kursi hitam itu. Selalu. Diakah?
Sore ini cuaca sedikit mendung, aku berjalan pelan
pelan. Aku tak mengerti ingin bertemu
atau menghindar. Tapi aku rindu. Memuakkan
sungguh. Aku duduk saja di ujung kursi hitam.
Aku bawa hasil lukisan. Lalu lalang saja, tak berarti apa-apa. Payah. Aku
menanti, sia-sia. Aku mencoba mencarinya. Mendatangi rumahnya. Bergegas,
sedikit berlari. Hingga aku berdiri di sebuah pagar, rumah yang lumayan besar
untuk keluarga kecil seperti mereka. Aku melihat sebuah plang besar bertuliskan
“rumah ini di jual". Sungguh dunia mempersulitku. Ketidakadilan
yang kutemui lagi. Kekecewaan yang entah berapa kali.
“Mengapa laki-laki itu tak mengenali aku atau sedikit
saja mengingatku? Mengapa ia tak menjelaskan padaku tentang kursi itu?”
rintihku bersama rindu. Perasaan rindu yang ingin berbalas pelukannya semakin
sesak. Menyiksaku makin dalam. Aku ingin menyetujui perkataan ibu, untuk
mandiri tanpanya. Namun, rinduku pada laki-laki bersahaja itu tak bisa
kurelakan pergi begitu saja. Semakin sulit ku mengerti.
Aku mengurung diri beberapa hari, mencoba melupakan
sisa-sisa kepahitan yang ku terima. Hanya itu. Ibu selalu mencintaiku setelah aku terbaring di rumah sakit. Ibu memperhatiakanku. Bahkan lebih hangat. Aku tak merasa sepi. Bahkan aku bisa berada di rumah
berhari-hari, karna di sini tak dingin lagi.
Bahkan hangat. Walaupun tanpa laki-laki. Ibu jarang mengambil lembur di
kantornya, sekarang. Ia lebih memperhatikanku.
"Tak perlu ada ayah di sisimu, nak. Karna kamu terlalu hebat untuk bergantung padanya." kata-kata itu sedikit menyiksaku.
Ibu tak merasakan
rasa sakitku, hidup tanpa kasih sayang ayah.
Hari itu, aku pergi ke taman. Ingin melepaskan rindu
bersama teman lamaku. Kursi hitam di taman. Namun, rindu terlanjur kaku. Kursi
hitamku, telah menjauh. Dan menghilang dari pandanganku. Dimana aku harus
berharap bertemu laki-laki itu? Sekarang kursi hitam telah meninggalkanku. Sekarang
hanya bongkahan tanah yang siap di bangun sebuah kolam ikan lagi di taman.
Apakah melupakan atau bagaimana? Aku terlanjur sayang kepada laki-laki bersahaja
itu, ayahku. Dia ayahku. Yang sekarang tak aku tahu. Aku terlanjur sayang pada kursi
hitam di taman. Sesekali kutemui membawa berita suka, sekarang luka. Kebencian,
keegoisan, kesepian, yang telah aku rasakan hanya menyisakan sebuah perihnya
kehilangan. Menetespun airmataku, tak akan mampu mengobati. Keduanya telah hilang, selamat tinggal
kursi hitam di taman. Hilanglah bersama ayah yang tak pernah mencintai aku
anaknya.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar