Stasiun
ramai pagi ini. Pelantaran sesak karena antrian calon penumpang.
Berdesak-desakkan mencari tempat teduh. Anak-anak pedagang asongan hilir mudik
menjajakan minuman, tak peduli hujan menitik dengan derasnya di luar. Tak lama,
suara kereta datang, bersahut-sahutan peluitnya. Penumpang dengan kaki-kaki
lincahnya berduyun-duyun memenuhi kereta api kelas ekonomi itu −begitu
antusias− selepas pemberhentian yang dilakukan masinis.
|
Stasiun Jatinegara |
Ding
dong.. Kereta Jurusan Jakarta-Bogor akan segera berangkat. Di mohon agar para
penumpang bersiap-siap.
“Percepat
langkahmu, Mid! Sebentar lagi kereta berangkat. Tetap pegang tanganku!”
Terlihat laki-laki dewasa berkulit sawo matang berlari bersama adik
laki-lakinya menerobos keramaian penumpang yang hendak masuk ke dalam kereta.
Keduanya kepayahan berlari mencari celah. Keringat mengalir pelan.
Berkat
usaha sang kakak, mereka berdua mendapatkan jatah kursi. Laki-laki pemilik
wajah bersahaja itu memilih kursi urutan ketiga persis di dekat jendela.
Badannya sungguh tegap −nampak berisi. Rambutnya hitam ikal tertutup Beanie Hat –kupluk; sejenis topi rajutan
yang tepat digunakan saat hawa dingin atau musim hujan. Sama seperti hari ini,
musim hujan di bulan Desember sudah menyapa. Hujan dengan ramahnya turun.
Beruntung, stasiun tidak banjir. Hanya membuat sekitar basah saja. Hawa dingin
mulai berdomisili di kereta ekonomi itu. Sesekali kaca jendela berembun.
Tiba-tiba, tangan laki-laki itu terangkat, semakin mendekati kaca di jendela.
Diukirnyalah tulisan sederhana dengan telunjuknya. Sebentar-bentar dihapusnya.
Mengukir lagi, dihapus lagi. Ada rasa sesak yang segera memenuhi dadanya. Ia
mengukir lagi: Elina.