Cerita yang seharusnya diposting lebaran lalu. Ehh baru sempat diselesaikan dan dipublish sekarang.. Langsung ke tkp aja. Gini ceritanyaa..
Tepatnya lebaran ketiga atas perencanaan satu bulan yang lalu. Aku dan keluarga memutuskan untuk berlibur menikmati waktu bersama keluarga di Kota Pagaralam.
Berdasarkan informasi yang kudapati dari penuturan para pendatang, tempat tersebut merupakan Bogornya Sumatera yang tak kalah menariknya untuk dikunjungi. Baik, yang jelas semua keindahan alam ciptaan Allah yang membentang sungguh luar biasa. MasyaAllah. Awesome!!
Pagi ini menjelang keberangkatan, di daerahku hujan turun dengan derasnya. Sepagian hujan enggan menjauh dari tempat peraduan di sekitarku. Hmm..
Tak beberapa lama jadwal keberangkatan kijang kami ini, hujan mulai mereda. Hanya gerimis kecil yang tersisa. Sambil mempersiapkan semua keperluan yang dibutuhkan, aku dan yang lainnya menunggu kedatangan sang juru kunci perjalanan kami, siapa lagi kalau bukan sopir. Panggil saja rama. Dialah teman satu SMP denganku, yang dulunya sempat tinggal di rumahku beberapa waktu karna tempat tinggalnya lumayan jauh dari sekolah SMP kami. Sebut saja dia anggota dari keluarga kami, karna dia telah mengganggap kami adalah bagian dari keluarganya.
Setelah kedatangan sang kijang, kami mulai berkemas menaikkan barang-barang ke bagasi yang telah disediakan disudut belakang kijang itu.
Selanjutnya perjalanan kedua di musim kemenangan ini dimulai.
Sang sopir dengan percaya diri mengemudikan kijang bermuatan sembilan orang itu. Hap, hap, hap, hap. Rute demi rute telah dilahap. Hingga sampailah di rute perjalanan yang menguji adrenalin.
Perjalanan liku-liku dan mendaki. Belum lagi belokan yang sangat tajam. Saat seperti ini, jangan pernah Anda putuskan untuk tidur karna Anda akan rugi besar. Memang sedikit menakutkan. Jantung ini dibuat berdebar lebih kencang. Terlebih jika memandang ke arah luar jendela kijang.
Subhanallah. Terlepas akan semua hal yang mendebarkan itu, jikalau Anda membiarkan mata ini terus menatap ke luar jendela, akan Anda temukan banyak pepohonan yang menghiasi jalanan yang curam itu. Semakin tinggi, semakin naik, dan semakin tajam tikungannya.
Kira-kira 20-30 menit seisi kijang tersebut diguncang dengan ketakutan. Bahkan terkadang, mulut kecilku dan Lisda menggeliat ingin mengeluarkan teriakan-teriakan. Karena memang the long trip ini menghendaki ketentraman jantung berguncang.
Lalu, setelah berhasil melewati jalanan seperti itu. Muncullah jalanan lurus yang mulai membawa sang kijang semakin dekat dengan tujuan. Hingga akhirnya roda sang kijang membawa aku dan keluarga ke sebuah tempat bernama pasar. Ya, saat itu kami berada di salah satu pasar terbesar di daerah Pagar Alam itu.
Di sanalah, bapak mengeluarkan telepon genggamnya dan mulai menghubungi om Ing. Di kediaman om Ing inilah kami akan bermalam. Sayangnya, komunikasi yang terlalu sederhana ini membawa kesalahpahaman. Serta berhasil membuat sang kijang berada lebih jauh dari tujuannya. Namun, tak terlalu lama kesalahan itu bermuara pada kebenaran yang mengharuskan kami menunggu om Ing yang sedang dalam perjalanan menjemput kami. Mas jufri memberikan sarannya, untuk mencari tempat berhenti yang dengan mudahnya om Ing dapat menemukan dan mendeteksi keberadaan kami.
Semula bapak memutuskan untuk menambatkan sang kijang di sebuah pasar swalayan (baca: indomaret). Lagi-lagi mas jufri melontarkan saran, ia menyarankan agar mencari tempat yang lebih familiar. Masjid (baca: lupa), itu pilihannya. Lumayan lama menunggu di dalam kijang itu ditambah panas sore yang berhasil membuat keringat mengucur dengan derasnya. Keinginan untuk keluar dari kenyataan itu, gagal terwujud. Tanya kenapa? Om ing dengan kijangnya juga datang. Dan segera melancong ke kediamannya.
Let's go!!!!!!!
Di dalam perjalanan itu, aku sedikit memunculkan keasinganku pada daerah yang baru ini, karena yang aku pahami suasana di Pagar Alam ini sejuk atau bahkan dingin. Informasi semacam itu berhasil aku petik dari cerita bapak sewaktu dulu ke daerah ini. Kenapa udara yang ku rasakan berbanding terbalik dengan apa yang pernah aku dengar. Akhirnya mulut ini menanyakan hal itu.
"Kok panas ya?" Tanyaku yang entah aku tujukan pada siapa.
"Mungkin cuaca telah banyak berubah" muncul suara dari deretan bangku depan. Itu suara bapak.
Sejalan dengan pendapat bapak, semua mengiyakan. Ya, inilah kondisi Indonesia saat ini. Panas yang terasa bukan lagi panas yang biasanya. Iklim telah berubah, bahkan telah jauh dan jauh berbeda.
Ternyata benarlah, bahwa kijang ini telah berada lebih jauh dari tujuannya. Pasalnya tempat dan jalanan yang dilalui sekarang ini, telah lebih dahulu kami lalui tadi sebelum berhenti karena kehilangan arah (baca: tersesat). Ketika mulai memasuki kawasan tempat kediaman om Ing. Gunung Dempo yang gagah dan indah itu mulai nampak. Teriakan-teriakan histeris seperti tak percaya telah berada di kawasan itu. Decah kagum tak hentinya menyembul dari mulut ini. Subhanallah.
Disini presepsiku mulai berubah. Udara dingin mulai hadir ditengah-tengah kijang. Ternyata makin dekat tujuan makin terasa, ya walaupun matahari ada dan bersinar seperti biasanya. Tetap saja udara dingin itu ada.
Perjalanan saat itu juga, membuat mata ini terpesona dengan kebun-kebun sayuran yang ditanam petani di sana. Subur. Subhanallah. Lagi-lagi aku tercengang melihatnya. Sungguh menyejukkan mata.
Setelah cukup lama menikmati perjalanan akhirnya tiba juga di tempat tujuan. Penat hampir seharian berada di kijang biru dongker itu. Lekas turun dan rebahkan tubuh yang mulai lelah ini. Daan ketika menginjakan kaki ke lantai rumah, sungguh aku berdecak. Kedua telapak kakiku disuguhkan dengan lantai-lantai menyeruapkan aroma dingin. Malah sedikit menggigil.
Berjabat erat di tengah keluarga. Apalagi bapak dan om Ing adalah teman seperjuangan yang telah lama tak bersua. Di sambut keluarga kecil om Ing, juga teh hangat dan kue-kue lebaran yang masih tersisa. Hingga hari semakin senja. Waktunya untuk mandi. Namun, siapa yang berani. Ultimatum bapak waktu itu benar. Air di dalam bak sangat dan sangatlah dingin. Bagaimana air yang di keluarkan dari lemari es. Menggigil. Rasanya seperti menumpahi air es ke atas kepala.
Menurut penuturan tante Ing, air yang kami gunakan memang asli air dari pegunungan. Wajarlah. Antri-antrian mandi pun selesai. Gelap mulai menyelinap di pelataran.
Malam pertama di kota Pagaralam. Jika kau keluar atau melirik sedikit di pintu. Maka kau akan menemukan ciptaan Allah yang sangat indah. Gugusan lampu-lampu berkelap-kelip, sepanjang badan gunung Dempo. Seakan berjalan-jalan. Sangat indah. Belum lagi pemandangan gunung yang dulunya sering ada di buku gambarku ketika SD dulu. Di selimuti awan, ya memang benar. Angin semilir. Ya Allah. Sungguh indaahnya kuasa-Mu. MasyaAllah..
Malam semakin menunjukkan kegagahannya. Kami berkumpul bersama makan malam dengan makanan yang baru di petik dari perkebunan. Entah berlebihan atau tidak. Rasanya enak dan lebih manis. Sangat menikmati dengan minum teh hangat juga. Dan tak lama setelah itu, kembali bersentuhan dengan air pegunungan saat mencuci piring. Berbincang-bincang sebentar. Lanjutkan beristirahat. Selimut disiapkan. Padahal biasanya aku tak pernah membutuhkan peralatan tidur semacam itu. Namun, malam ini, terpaksa. Nyenyak dan pulas. Terbangun dengan tak sengaja. Aku makin kedinginan. Lalu, menambah lipatan selimut. Hingga terbangun jam enam pagi. Untunglah aku sedang berlibur sholat. Aku tak perlu merasakan mengigil dengan air wudhu pagi itu.
Dan saat membuka pintu, ibu, tante, dan yang lainnya telah duduk menikmati gorengan juga teh hangat. Berbincang-bincang lagi. Dan oom menyuruh Ica, anaknya untuk mengajak kami ke sungai dekat rumah. Ide yang bagus. Kebetulan kami belum mandi pagi. Dan jadwal nanti siang pergi ke pasar pagi, lanjut pergi jalan-jalan ke badan gunung Dempo.
Sedikit berjalan kaki dan akhirnya kita sampai di sungai kecil ini. Airnya jernih dan dinginnnnnn... Dari sungai kita bisa memandang dari kejauhan gunung Dempo yang diselimuti awan-awan. Di sana kami sempat bermesraan dengan alam. Bermain sesukanya. Berselfie secukupnya. Air sungainya, sungguh memucatkan kaki. Dingin, dingin sekali. MasyaAllaah. Awan tetap beriringan, sungguh mataku sudah hijau sekarang. Kemanapun memandang hijau-hijau-hijau.
Sedikit berjalan kaki dan akhirnya kita sampai di sungai kecil ini. Airnya jernih dan dinginnnnnn... Dari sungai kita bisa memandang dari kejauhan gunung Dempo yang diselimuti awan-awan. Di sana kami sempat bermesraan dengan alam. Bermain sesukanya. Berselfie secukupnya. Air sungainya, sungguh memucatkan kaki. Dingin, dingin sekali. MasyaAllaah. Awan tetap beriringan, sungguh mataku sudah hijau sekarang. Kemanapun memandang hijau-hijau-hijau.
![]() |
"aku"-Lisda-Eva |
![]() |
"Aku"-Masjuf |
![]() |
TKP (pagi) |
Baiklah, semua sudah bersedia.
"Ayo, siap-siap, sebentar lagi kita berangkat!" Om Ing sudah memanaskan mobil.
![]() |
Haloooo! Ini penumpang kursi terbelakang--- Salam goncangan ^^ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar