Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper),
temanya STORY BLOG TOUR. Di mana member lain yang sudah diberi urutan absen
melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Aku, Lisma, mendapatkan
giliran untuk membuat episode ketiga dalam serial story blog tour ini.
Bismillah. Inilah episode keduanya. Yuk, dinikmatin aja ceritanya. Walaupun banyak kekurangannya.. Mariii~
Mengakhirinya dengan salam ke kiri.
Lelaki tua itu beranjak dari duduk tahiyatnya. Konsentrasinya gugur. Tepukan
yang mendarat dibahunya, membuatnya mengingat sesuatu. Segera mata tuanya
berputar bebas; mengelilingi sudut ruangan. Hampa. Ia tak menemukan siapa-siapa.
"Siapa yang menepuk
bahuku?" Bisiknya lirih.
Lelaki itu menyeret kakinya keluar.
Mengintai lagi di sekeliling Surau.
"Siapa di sana? Ada perlu
apa?" Suara lelaki itu memecah keheningan subuh. Berteriak semampunya.
"Kemarilah! Apa yang kau
inginkan?"
Harap tak berbalas apa-apa. Tersisa
kehampaan. Pagi yang basah itu, sesak semakin menggerutu. Rindu semakin
menghayut.
***
"Lebih baik aku pergi, Kang.
Tolong jangan cari aku lagi. Kau tak bisa lagi menepati janjimu. Pernikahan ini
akan sia-sia. Kau gagal menjadi imam untuk keluarga kita. Tolong jangan pernah,
jangaan pernah cari aku lagi." Isak-tangis menguasai hati perempuan itu.
Menutup kesempatan untuk setiap pertemuan adalah jalan terbaik. Kehadirannya
sebagai istri hanya menyisakan beban berkepanjangan.
Lelaki bermata sayu itu berlari,
"Marni, jangan lakukan ini! Kau tak boleh mundur. Selamanya aku akan
berusaha. Tolong beri waktu untuk memperbaiki hidup kita. Tolonggg,
Marniiiiii." Kakinya gemetar. Sebentar lagi kakinya akan roboh.
"Maafkan aku, Kang. Ini demi
kebaikan kita. Ku mohon." Marni membalikkan wajahnya. Basah tertumpah air
mata. Pagi yang basah itu, Marni merobohkan harapan Kardi.
Semenjak hari itu, Kardi
menambatkan hatinya pada Surau tua itu. Adzan yang dikumandangkan setiap
harinya menenangkan jiwa. Selanjutnya, kebahagiaan itu akan datang bersamaan
dengan dua atau tiga langkah jamaah yang datang mendekati Surau. Bahagia. Ada
barisan yang siap di belakangnya sebagai makmum, walau dalam jumlah yang
sedikit.
Allahuakbar.... Allahuakbar....
Sahutan adzan terdengar kembali di
telinganya. Kardi tersadar dari lamunan lirihnya. Buru-buru mengambil agenda
yang sama. Lelaki itu menarik nafas, mengambil alat pengeras suara, pada rak
kecil di sudut Surau. Melirik sekililingnya lagi, tetap setia dengan
keyakinan bahwa suatu hari panggilan shalatnya di tanggapi oleh penduduk dusun.
Adzan terdengar lagi. Adzan yang terdengar serak, seperti hari-hari kemarin,
kemarin lusa, dan kemarin-kemarin lagi. Subuh bertukar senja, senja melarutkan malam, namun barisan tetap sepi. Akan tetap sepi.
Namun, bagi Kardi khusyuk yang didatangkan pada malam
syahdu, setiap hari di pertigaan malam adalah obat penipis rasa sepi. Mengobati segela keresahan yang menyakiti; mencari ketenangan pada Dzat yang Maha Sempurna. Berharap segala
luka-duka terhapus perlahan. Dengan mata berbinar, cahaya penuh harapan, Kardi
mengadahkan tangan. Menumpahkan asanya yang luluh berkeping.
"Duhai Dzat yang Sempurna, tak
ada lagi sungguh tempat bergantung. PadaMu, untuk kesekian kalinya, kuharap
Engkau sudi mengijabahnya. Aku tahu, aku tak berhak mengharap hadiah padaMu.
Aku hanya ingin diberi kesempatan menikmati shalatku tidak sendirian.... Aku
ingin, SurauMu ramai pengunjung...." Nafas Kardi tersengal.
"Aku ingin hadiah itu...
Sebelum tiba waktuku. Dan... Berilah aku kesempatan menemui istriku.... Walau
aku tahu, dia tak menginginkan kehadiranku. Beri aku jalan..." Kardi
membasuh wajahnya yang mulai basah. Rindu yang tak terperikan tengah menyiksa
batinnya.
"Assalamu'alaikum, Pak."
Suara salam itu menyentuh telinganya. Membuat duduknya tak lagi manis.
"Kali ini di sepertiga malam. Siapa yang sebenarnya ingin bertemu denganku?" Bisik hatinya.
Nantikan
kelanjutannya...